(Terima kasih kepada Hadi Herlambang, S.H. [S2 Hukum UI] yang telah berbagi pikiran, pendapat, dan informasi umum tentang buku World at Risk karya Ulrich Beck, dan Morality of Conflict karya Samantha Besson.)
[Disclaimer: Saya menerjemahkan kedua teks tersebut dari bahasa Inggris semata berdasarkan pemahaman saya sebagai seorang awam (non-praktisi) di bidang hukum dan/atau ilmu sosial dan politik, serta dalam kapasitas saya sebagai seorang penerjemah. Jika ada kritik, saran dan masukan tentang terjemahan saya, sila berbagi di kolom komentar.)
Debat akademik tentang perubahan iklim sudah usai, tapi respons moral dan politiknya telah mencapai tataran baru. . . .Manusia, sebagaimana telah ditetapkan dengan kebulatan suara para peneliti yang jarang ditemui terkait isu yang melibatkan beragam aspek seperti itu, menjadi pelaku utama penyebab pemanasan global. . . .Suatuhal yang sungguh baru, bahkan mungkin pesan yang bersejarah dari laporan ini, adalah kepastian meyakinkan penghapus segala penyangkalan dan keraguan bahwa manusialah penyebab terjadinya perubahan iklim.
Müller-Jung 2007 (merujuk pada IPCC 2007)
(hal. 1)
1 Risiko
Ancaman dan ketidakstabilan selalu menjadi bagian dari segala kondisi keberadaan umat manusia; dalam hal tertentu, situasi ini lebih tepatnya terjadi di masa lalu ketimbang masa kini. Ancaman bagi orang-orang dan keluarganya lewat penyakit dan kematian dini, segala ancaman bagi masyarakat lewat segala kasus kelaparan dan wabah penyakit lebih sering terjadi di Abad Pertengahan ketimbang dewasa ini. Dari ancaman semacam ini, kita harus membedakan makna risiko yang terkait sejak awal periode modern, dengan semakin pentingnya keputusan, ketidakpastian, dan kemungkinan dalam proses modernisasi. Makna risiko merujuk pada penentuan tema yang dilakukan saat ini atas segala ancaman di masa depan yang seringkali merupakan hasil dari berbagai kesuksesan peradaban. Itu juga memungkinkan terjadinya berbagai mobilisasi masyarakat baru, pasca-utopia, misalnya, seperti telah kita lihat, berbagai inisiatif kosmopolitan terhadap perubahan iklim dan pergeseran persekutuan antara berbagai pergerakan sipil (misalnya LSM—penerj.), negara, dan perusahaan.
Dua sisi risiko – peluang dan bahaya – menjadi penting seiring berjalannya industrialisasi, dimulai dengan pengiriman kapal dagang antar benua (misalnya oleh VOC pada abad ke-16—penerj.). Risiko melambangkan skema perseptual (anggapan—penerj.) dan kognitif (pikiran—penerj.), yang bersesuaian dengannya suatu masyarakat memobilisasi dirinya saat dihadapkan dengan segala jenis keterbukaan, ketidakpastian, dan halangan dari suatu masa depan yang diciptakan sendiri, dan tidak lagi didefinisikan oleh agama, tradisi, atau kekuatan alam yang lebih besar, tapi bahkan masyarakat itu telah kehilangan keyakinannya atas segala kekuatan utopia (negeri ideal dalam angan—penerj.) sebagai penyelamat.
(hal. 4; kategori dan/atau definisi risiko)
Istilah patembayan risiko (patembayan (Gesellschaft) menurut hemat penerjemah lebih tepat sebagai padanan dari istilah asli society dalam bahasa Jerman, yaitu Risikogesellschaft,ketimbang masyarakat, karena padanan masyarakat cenderung bersifat terlalu umum, sedangkan, dalam konteks ini, yang dibahas secara khusus adalah suatu kelompok sosial tertentu —penerj.) yang saya ciptakan dan saya jadikan judul buku saya pada tahun 1986 melambangkan suatu era masyarakat modern yang tidak lagi hanya membuang berbagai cara hidup tradisional, tapi lebih tepatnya bergumul dengan segala efek samping dari modernisasi yang sukses – dengan biografi (orang-orang—penerj.) berbahaya dan ancaman-ancaman tak terperi yang memengaruhi semua orang, dan membuat semua orang sulit mendapatkan jaminan kepastian yang cukup. Dari hal ini saya menarik beberapa kesimpulan:
- Risiko memiliki ‘kekuatan perang yang merusak’. Bahasa ancaman itu menular dan mengubah ketimpangan sosial: kebutuhan sosial bersifat hierarkis (tersusun dari berbagai tingkatan—penerj.), sebaliknya ancaman baru itu bersifat demokratis. Ancaman itu bahkan memengaruhi kalangan kaya dan berkuasa. Guncangannya terasa di seluruh wilayah masyarakat. Bursa-bursa ambruk, sistem-sistem hukum gagal mengajukan tuntutan pidana, berbagai pemerintahan menjadi sasaran tuduhan, sekaligus mendapat peluang baru untuk bertindak.
- Kita menjadi anggota ‘komunitas ancaman global’. Segala ancamannya bukan lagi urusan dalam negeri negara-negara tertentu, dan suatu negara tidak bisa menghadapi ancaman-ancaman itu sendiri. Timbul dinamika konflik baru atas berbagai ketimpangan sosial.
- Progres ilmiah kini terdiri atas tindakan melengserkan peran para pakar. Prinsip dasar sains dan segala teknologi visualisasinya – ‘Saya tidak melihat adanya risiko apa pun, jadi, tidak ada risiko’ – sedang mengalami tantangan. [Penerapan] sains tidak langsung bisa diartikan berkurangnya risiko, tapi, itu menajamkan persepsi akan risiko, dan berbagai risiko itu sendiri ‘secara kolektif bisa dilihat untuk pertama kalinya.
- Ketakutan menentukan sikap [seseorang] terhadap kehidupan. Keamanan menggeser posisi kebebasan dan kesetaraan dari tempatnya yang tertinggi pada neraca nilai. Akibatnya, hukum [dan perundang-undangan] menjadi lebih ketat, suatu [kondisi] ‘pertahanan totaliter terhadap segala ancaman’ yang tampak bersifat rasional.
- ‘Bisnis ketakutan’ akan meraup laba dari hilangnya keberanian [pada masyarakat] secara umum. Warga yang curiga dan diduga berbahaya harus bersyukur saat dirinya dipindai, difoto, digeledah, dan diinterogasi ‘demi keselamatannya sendiri’. Keamanan menjadi komoditas konsumen sektor publik dan swasta seperti air dan listrik yang menguntungkan.
3 Patembayan risiko dunia (Weltrisikogesellschaft / World risk society)
Untuk menyampaikan segala hal yang asing dan baru tentang kategori patembayan risiko dunia yang berbeda dengan patembayan risiko, dalam buku ini saya akan memperkenalkan dan mengembangkan seluruh rangkaian inovasi dan pembedaan konseptual – sebagai contoh, pembedaan antara risiko dan bencana, atau [pembedaan] antara risiko dan segala jenis penilaian risiko yang beragam secara kultural, hal itu semakin penting di era globalisasi. Saya sekaligus akan menawarkan tipologi berbagai ‘logika’ risiko global berbeda yang memungkinkan pembuatan definisi fenomena baru terkait terorisme bunuh diri lintas negara (sebagaimana dibandingkan dengan terorisme nasional perjuangan meraih kemerdekaan atau untuk keterlibatan politik, seperti yang dilakukan warga Irlandia atau Palestina) dan perbandingan [terorisme bunuh diri lintas negara] itu dengan berbagai risiko global lingkungan dan ekonomi. Dalam buku ini saya akan menyinggung, dengan cara antisipasi, beberapa inovasi konseptual ini, dan jenis-jenis wawasan yang dibukakan oleh [beberapa inovasi konseptual itu.]
(hal. 8 – 9; patembayan risiko dan patembayan risiko dunia)
Risiko dan bencana (catastrophe)
Risiko tidak bermakna sama dengan bencana. Risiko berarti antisipasi bencana. Risiko terkait dengan kemungkinan berbagai kejadian dan perkembangan di masa depan; risiko menghadirkan suatu kondisi dunia yang tidak ([atau] belum) terjadi. Bilamana setiap bencana sudah ditentukan secara spasial (ruang), temporal (waktu), dan sosial, antisipasi bencana sama sekali tidak bersifat konkret dari segi ruang-waktu ataupun sosial. Dengan demikian, kategori risiko menandakan kenyataan kontroversial dalam ranah kemungkinan, yang harus dibatasi dari sekadar kemungkinan spekulatif, di satu sisi, dan dari kejadian bencana yang nyata, di sisi lain. Begitu segala risiko itu menjadi nyata, saat ada PLTN meledak atau saat terjadi serongan teroris, semua risiko itu [berubah] menjadi bencana. Risiko selalu berupa segala kejadian di masa depan yang mungkin terjadi, yang mengancam kita. Namun, karena bahaya yang terus ada ini membentuk harapan kita, bersemayam di pikiran kita, dan memandu segala tindakan kita, [risiko] menjadi suatu kekuatan politik yang mengubah dunia.
Salah satu pertanyaan kunci yang diajukan dan ingin dijawab dalam buku ini memperjelas perbedaan antara risiko yang diantisipasi dan bencana yang sungguh terjadi ini. Bagaimana cara ‘menciptakan’ keberadaan berbagai bencana masa depan? Dengan cara apa risiko bisa memperoleh predikat ‘nyata’ – dengan kata lain, bagaimana suatu risiko itu bisa bertahta sebagai antisipasi ‘yang diyakini’ dalam benak masyarakat, dan pada berbagai institusi, serta jelas seringkali melintasi batas antar bangsa, daerah, agama, partai politik, dan kalangan kaya serta miskin? Lalu mengapa antisipasi bencana, dari segala kemungkinan yang ada, mendorong perombakan politis?
Jawabannya, disederhanakan ke dalam suatu rumusan, adalah: risiko global merupakan peragaan realitas [Realitätinszenierung] dari risiko global. Itu salah satu perspektif penting dari buku World at Risk yang melampaui tesis-tesis di dalam buku Risk Society. ‘Staging’ (peragaan) dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam makna bahasa percakapan sehari-hari, yaitu pemalsuan realitas disengaja dengan membesar-besarkan berbagai risiko yang tidak nyata. Pembedaan antara risiko sebagai bencana yang diantisipasi dengan bencana sesungguhnya sebaliknya memaksa kita untuk menganggap serius peran peragaan itu. Karena bencana masa depan hanya bisa dihadirkan dengan membayangkan dan memeragakan risiko dunia – seringkali bertujuan menghindarinya dengan memengaruhi keputusan-keputusan saat ini. Kemudian, diagnosis risiko akan menjadi ‘ramalan yang terpatahkan dengan sendirinya’ – contoh utamanya adalah debat tentang perubahan iklim yang seharusnya mampu mencegah perubahan iklim.
(hal. 9-10; perbedaan antara risiko dan bencana & peragaan realitas risiko global)
Tujuan saya dalam buku ini bukanlah untuk memberikan tipologi lengkap dari seluruh risiko yang mungkin ada dalam masyarakat risiko dunia.
Berbagai risiko lama (kecelakaan industri dan perang) dan bencana alam (gempa bumi, tsunami) terjadi seiring, dan menjadi terhubung dengan berbagai risiko baru (perubahan iklim pembawa malapetaka, krisis keuangan global, dan serangan bunuh diri), lalu dengan demikian bisa memicu berbagai ketidakstabilan yang baru, sulit direka, dan tidak terduga.
Segala bencana besar yang mungkin terjadi sangat mudah dibayangkan – dan saya tidak berambisi menjadi Hieronymus Bosch (pelukis Belanda abad ke-16 yang terkenal akan karya-karyanya yang menggambarkan kengerian di neraka dan hari kiamat menurut agama Kristen–penerj.) di bidang sosiologi.
Tujuan saya adalah untuk mengembangkan teori dan sosiologi risiko yang sudah ada setidaknya tiga langkah lebih jauh: pertama, melalui perspektif globalisasi, kedua, dan berhubungan dengan ini, melalui perspektif staging (pemaparan rinci berbasis kategori–penerj.), dan ketiga, melalui perspektif perbandingan tiga logika risiko, yaitu, risiko lingkungan, risiko ekonomi, dan risiko global terorisme.
(hal. 19 – 20; thesis statement (topik utama) World at Risk)
Dalam kesimpulan [Morality of Conflict], Besson membahas potensi teori hubungan internasionalnya – [Samantha Besson] berkomitmen menyelidikinya lebihjauh dalam karya-karyanya yang akan datang – sebagai persoalan pluralisme hukum melampaui tingkatan negara (Besson 2005: 534). Teorinya menawarkan landasan atas apa yang disebutnya kedaulatan kooperatif (Besson 2005: 535), yang melibatkan suatu pemahaman akan koordinasi berarti berbagai tingkat kewenangan (governance), mulai dari tingkat lokal hingga global. Dia memaparkan secara rinci prinsip-prinsip kedaulatan kooperatif dan koherensi global:
Pertama, konsepsi yang telah direvisi tentang kedaulatan kooperatif bisa lahir dari suatu pendekatan yang lebih jelas terhadap pluralisme hukum global. …. Kedaulatan harus dibayangkan sebagai suatu konsep refleksif (subjektif—penerj.) dengan penggunaan yang tepat, yaitu untuk merenungkan dan berbeda pendapat tentang nilai-nilai yang dilindungi oleh kedaulatan itu, yaitu, terutama, demokrasi dan hak-hakasasi manusia. Perlindungan nilai-nilai yang mendasari konsep-konsep yang dapat diperdebatkan itu dengan demikian akan menjadi lebih baik jika ada kerjasama antar para pihak berwenang dan entitas yang berbeda, dan dengan cara terbaik melindungi kesamaan berbagai nilai yang mereka anut, dan, oleh karena itu kapan [suatu pihak] harus menyerahkan kedaulatannya ke pihak lainnya, ketimbang jika pihak-pihak itu saling menyatakan bahwa kedaulatannyalah yang lebih utama dibandingkan kedaulatan pihak lainnya. Segera setelah [kedaulatan kooperatif] diawali dan diakhiri, kedaulatan kooperatif itu bisa menciptakan sekaligus merangsang perdebatan yang langsung membahas inti tentang apa yang seharusnya menjadi pembagian jatah yang terbaik atas kekuasaan, dan ini bukan hanya di Eropa, tapi juga pada skala yang lebih mendunia. …
Kedua, kedaulatan kooperatif bisa melahirkan prinsip koherensi global dalam kondisi-kondisi pluralisme pasca nasional dan supra-nasional yang wajar. Saat para pihak dalam suatu konflik yang berada dalam posisi berdaulat dipahamis ebagai [para pihak] yang berada dalam suatu hubungan kooperatif, ketimbang saling bermusuhan, akan mudah dimengerti alasan mengapa prinsip menghormati segala posisi pihak lain yang wajar, sekalipun berbeda, harus dikembangkan pada model prinsip koherensi hukum pada tataran infra-negara. …. Seharusnya tidak ada sumber legalitas yang saling berkonflik yang menjadi lebih rendah kedudukannya dibandingkan [sumber legalitas] lainnya, dan pihak berwenang lokal seharusnya bisa berjalan seiring danberkembang bersama pihak berwenang global, selama konflik bisa menjadi suatu sumber pembelajaran bersama dan suatu konsistensi berprinsip dalam usaha kerjasama mencari titik temu bagi berbagai ordehukum yang berbeda ini, dengan aturan hukum yang bertujuan untuk mengamankan nilai-nilai dan kepastian itu bagi mereka (para pihak yang menjadi sumber legalitas tersebut—penerj.) (Besson 2005: 535/536).
Sumber:
Cottier, Thomas. Multilayered Governance, Shared Values and Moral Conflict. 2008. (hal. 6-7)