YOWID’S SUBTITLING NOTES (2023)

The following are my personal subtitling notes in 2023:

  1. Narration Italicization:

    Italicize narration (i.e., line or dialogue of an out-of-scene speaker).

    Romanize the subtitle if the narrator is on-screen before or after a shot change. In narration, romanize words and phrases that are commonly italicized in non-narration dialogue, e.g., program titles.
  2. Artistic Narration Italicization:

    Italicize the subtitle if the speaker is reading poetry (on-screen or out of scene) or telling a story (prose) out-of-scene (i.e., narration).

    Romanize the subtitle if the speaker is telling a story on-screen.
  3. Subtitle Line Optimization:

    Merge or combine two subtitle lines (either within a subtitle or in adjacent subtitles) into one if the total number of characters is less than or equal to 42.
  4. Subtitle Overhang:

    Do not leave dangling any line break orphan, i.e., a single noun (right after a punctuation and right before line break), modifier and/or adjective, conjunction, and preposition, at the end of the first (top) line in a subtitle.

    Move the orphan word onto the second (bottom) line of the subtitle or split the subtitle into two.
  5. Subtitle Combination:

    Merge or combine two subtitles if the total number of characters per line is less than or equal to 42.
  6. Subtitle Linger Time:

    Set the maximum subtitle linger time (also known as subtitle display duration or subtitle fade-out time) to approximately 0.5 seconds (or 12 frames at 25 frames per second).
  7. Subtitle Gap Spacing:

    Set the subtitle gap between subtitles that are not interrupted by shot changes (SC) to either two frames (for subtitle gap of one to 11 frames) or 12 frames (for subtitle gap of greater than or equal to 12 frames).

    Do not set the subtitle gap to three through 11 frames (i.e., not 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, or 11 frames).
  8. Subtitle Synchronization:

    Fine-tune the subtitle spotting (or timecoding) of the start frame (TC IN) to match the cue in (AUDIO IN), with a two-frame maximum tolerance.
  9. Scene Change Subtitle Break:

    Set the subtitle end frame (TC OUT) to two frames before shot change (SC) that signifies scene change.

    If there are two scenes before and after the SC, do not set the TC OUT to 12 frames after SC.
  10. Template Revision:

    Critically and thoroughly review all time-coded templates and avoid reproducing any errors (especially technical ones). Revise accordingly.
  11. Forced Narratives:

    Capitalize all letters in an on-screen text (OST), i.e., text that serves as a label, information, or identification.

    Use the standard capitalization rules in forced narratives (FN), i.e., plot-pertinent OST.

    Exclude non-essential forced narratives (FN).

    If FN and dialogue overlap, the dialogue should be prioritized.
  12. Nuanced Subtitling:

    Use nuanced subtitling techniques to convey the speaker’s meaning in a vague yet factually accurate manner, despite the speaker’s factually inaccurate reply.
  13. Mental Health Alert: Take 10-minute breaks every now and then. Stretch out. Grab a cup of coffee (or two, or three). Take a stroll. Socialize. Stay frosty.

[Sinopsis Buku] – Subtitling: Concepts and Practices (karya Jorge Díaz-Cintas dan Aline Remael)

(Penafian: Sinopsis buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Inggris oleh Jorge Díaz-Cintas dan Aline Remael. Terjemahan dalam bahasa Indonesia dibuat oleh narablog atas izin tertulis oleh dan korespondensi langsung dengan Prof. Jorge Díaz-Cintas. Hak cipta dilindungi oleh undang-undang)

(Disclaimer: This book synopsis was originally written in English by Jorge Díaz-Cintas and Aline Remael. The Indonesian translation was made by the blog author with express permission by and direct correspondence with Prof. Jorge Díaz-Cintas. All rights reserved.)

. . .

Penerjemahan takarir (subtitling) telah ada sejak paruh awal abad ke-20 dan memiliki banyak bentuk. Seiring meningkatnya kegiatan daring di hampir semua budaya global kita yang sifat utamanya audiovisual, peran penerjemahan takarir menjadi sangat penting.

Subtitling: Concepts and Practices adalah pengantar teori dan praktik penerjemahan takarir berdasarkan penelitian terkini bagi mahasiswa, peneliti, praktisi, dan siapa saja yang berminat dengan media, bahasa, penerjemahan audiovisual, teknologi bahasa, dan komunikasi antarbudaya. Konsep inti dan soal latihan yang tersedia di dalamnya akan mengakrabkan para pembacanya dengan fitur-fitur teknis, linguistik, dan budaya dari penerjemahan takarir. Buku ini menyajikan strategi-strategi konkret penerjemahan takarir untuk menangani masalah-masalah penerjemahan khusus dan berisi banyak sekali contoh dalam banyak bahasa. Buku ini juga menyelidiki teknologi penerjemahan termutakhir, dampaknya pada profesi penerjemah, dan membahas bagaimana semua teknologi ini bisa menjawab berbagai tantangan terkini di bidang sosial dan politik, keragaman budaya, serta keragaman bahasa dari produksi audiovisual.

Buku ini dikemas sepenuhnya dalam format multimedia, disertai dengan situs pendamping yang berisi berbagai sumber daya tambahan, termasuk klip video, daftar dialog, sebuah glosarium konsep dan terminologi yang digunakan dalam industri, serangkaian latihan dengan kunci jawaban, dan masih banyak lagi. Buku ini juga menyediakan akses gratis ke sebuah program penyunting takarir desktop ternama, Wincaps Q4, dan sebuah platform penerjemahan takarir berbasis komputasi awan (cloud-based), OOONA.

Wincaps Q4 adalah sebuah program peranti lunak penerjemahan takarir profesional yang dikembangkan oleh Screen Subtitling Systems dan banyak digunakan dalam bursa penyiaran di seluruh dunia. OOONA, sebuah ekosistem cloud-based, memungkinkan pengguna untuk membuat takarir dari awal, menerjemahkan dari templat, mengulas takarir buatan orang lain, dan mencetak (burn) takarir ke dalam video tanpa harus mengunduh peranti lunak lain apa pun. Berkat pengalaman kedua penulis buku ini yang telah lama teruji dalam penelitian dan praktik penerjemahan takarir, sekaligus kolaborasi mereka dalam banyak proyek penerjemahan audiovisual (PAV), kedua perusahaan tersebut telah setuju untuk menjadi bagian penting dari paket penerjemahan takarir Routledge yang baru ini. Akses terhadap dua produk teknologi penerjemahan takarir profesional dan pelengkap ini akan memberi manfaat berupa panduan teknologi bagi para calon praktisi dalam industri penerjemahan takarir.

Walau monograf ini ditulis dalam bahasa Inggris, contoh-contoh yang diambil dari berbagai jenis film dan serial TV disajikan dalam banyak bahasa, dengan penerjemahan kembali teks dari bahasa sasaran ke bahasa sumber (back translation).

Karena tradisi penerjemahan takarir berbeda dari negara ke negara, dan bahkan dari perusahaan ke perusahaan, menulis tentang penerjemahan takarir bagi audiens internasional jelas ambisius dan berarti mau tidak mau terjadi beberapa generalisasi. Meski demikian, tingkat variasinya relatif, dan praktik-praktik profesional mulai menyatu karena globalisasi dan kemajuan teknologi. Sebagian besar perbedaan dalam praktik profesional tidak begitu memengaruhi dasar-dasar penerjemahan takarir, dan pembelajar yang telah memiliki wawasan tentang isu-isu khusus ini akan dilengkapi dengan berbagai keahlian serbaguna (transferable skills) yang bisa diterapkan dalam konteks-konteks yang berbeda.

Dalam buku ini diselidiki tantangan-tantangan akademik paling relevan dari bentuk penerjemahan yang sangat khusus ini dan mengajukan beberapa pertanyaan riset dasar. Meski bergantung pada teknologi, penerjemahan takarir juga membutuhkan keahlian linguistik yang fleksibel dan kreatif, sekaligus latar belakang yang kuat dalam komunikasi antarbudaya.

. . .

Buku ini terbagi ke dalam sembilan bab yang dimulai dengan berbagai pertanyaan atau isu yang menjadi bahan diskusi atau renungan awal, dan diakhiri dengan soal latihan yang mencerminkan teori penerjemahan takarir dan menjadi pengantar praktik penerjemahan takarir itu sendiri. Agar memudahkan penelusuran bagi pembaca, buku dan situs web Subtitling: Concepts and Practices saling terhubung dan keduanya memiliki struktur konten yang sama.

Bab 1, Perancangan ulang konsep penerjemahan takarir, berisi pengantar dunia penerjemahan audiovisual (PAV) global yang cepat berubah dan perannya yang semakin penting sebagai suatu ranah riset dalam Kajian Penerjemahan (Translation Studies). Bab ini memaparkan konsep penerjemahan takarir terkini, membedakannya dari berbagai bentuk penerjemahan audiovisual lain, meninjau jenis-jenis takarir berbeda yang umumnya tampil di layar pemirsa, dan menyertakan sebuah klasifikasi berdasarkan parameter-parameter yang berbeda.

Bab 2, Ekosistem profesional, bertujuan menyajikan kepada pembaca garis besar langkah-langkah umum yang dijalani saat menerjemahkan takarir suatu produksi audiovisual, mempertentangkan praktik-praktik baru dan lama jika memang ada perbedaan di antara keduanya.

Bab 3, Semiotika penerjemahan takarir, menyajikan informasi penting tentang film sebagai sebuah teks kompleks, menggabungkan semiotika citra bergerak (moving image) dan suara sekaligus multimodalitas bahasa (keanekaragaman modus bahasa yang saling terkait dalam suatu medium, misalnya modus bahasa verbal dengan modus bahasa non-verbal, baik audio maupun visual–penerj.). Takarir harus dirancang dan diatur waktu tampilnya untuk bisa berinteraksi dengan semua sistem markah (atau tanda) ini secara koheren. Dalam konteks tersebut, bab ini membahas mengapa dan bagaimana multimodalitas bukan hanya menjadi sebuah tantangan melainkan juga menghadirkan berbagai peluang yang harus dipelajari agar bermanfaat oleh penerjemah takarir.

Bab 4, Fitur ruang (spasial) dan waktu (temporal) , menyoroti pentingnya berbagai konvensi penerjemahan takarir untuk menjamin konsistensi, dan menyelidiki batasan-batasan utama dari segi ruang dan waktu yang mendefinisikan praktik profesional ini. Bab tersebut mengamati isu-isu ruang terkait tata letak dan penempatan posisi takarir, jenis dan ukuran fon, jumlah baris per takarir, dan jumlah maksimum karakter per baris. Perihal dimensi waktu, pembahasan berfokus pada tugas penetapan waktu awal dan waktu akhir tampil takarir (spotting), fungsi dari kode waktu (timecode), beragam jenis laju tampil takarir dan kecepatan membaca, pentingnya perubahan adegan, dan fitur-fitur lainnya.

Bab 5,  Fitur formal dan tekstual, berfokus pada ciri-ciri leksikal, sintaktis, dan tipografis yang menjabarkan penyajian formal takarir pada layar, serta memisahkan, menyoroti, dan memperjelas teks tertulis. Bab tersebut juga menawarkan saran penerjemahan formal lagu, surat dan dokumen-dokumen tertulis lain, sekaligus bilangan, singkatan, simbol (atau lambang), ukuran, dan berat.

Bab 6 mengampu Linguistik penerjemahan takarir secara umum dan membahas berbagai opsi berbeda yang tersedia untuk melakukan pemadatan teks; lazim terjadi dalam takarir yang akan bergantung pada genre film, fitur dialog interaksi karakter, dan konteks khusus suatu adegan. Diselidiki pula konsep kohesi dan koherensi dalam bidang penerjemahan takarir, dan diberi saran tentang cara menerapkan pemenggalan baris (line break) di dalam dan di sepanjang takarir.

Bab 7, Variasi dan perubahan bahasa penerjemahan takarir, adalah bab pertama dari dua bab seputar isu-isu penerjemahan khusus. Bab itu dimulai dengan mendefinisikan variasi bahasa, bentuk-bentuk umum variasi bahasa, tujuan-tujuan naratif yang mungkin dimilikinya, dan bagaimana penerjemahan takarir bisa menanganinya. Bab tersebut kemudian membahas penerjemahan takarir lagu, yang memiliki tantangan tersendiri karena teks yang ditulis untuk dinyanyikan memiliki berbagai parameter tambahan, seringkali melibatkan fitur-fitur linguistik.

Bab 8, Penerjemahan takarir referensi budaya, humor, dan ideologi, membahas ketiga konsep yang saling berhubungan tetapi tidak stabil ini, dalam hal sifatnya yang berevolusi seiring waktu, bisa diamati dari banyak sudut perspektif, dan tampak memiliki makna yang tidak sama bagi kaum dan komunitas yang berbeda. Seperti halnya bahasa termarkah (marked language) secara umum, kesemuanya adalah ciri umum produksi audiovisual dan menghadirkan tantangan yang bergantung konteks bagi pembuat takarir.
Bab 9, Perkembangan teknologi, menyelidiki evolusi cepat peranti lunak spesialis, penerjemahan mesin, dan platform-platform berbasis komputasi awan (cloudbased platforms) dalam industri penerjemahan audiovisual, menekankan dampak yang dihasilkan semua kemajuan teknologi ini pada berbagai ekosistem PAV dan ruang kerja para penerjemah.

Catatan Penerjemahan Takarir (Bagian 0): Intro

Berkarier sebagai penerjemah takarir (subtitle translator) itu penuh liku dan suka duka. Sejak tercebur ke dalam dunia penerjemahan takarir pada akhir tahun 2016, saya belajar banyak sekali, baik dalam hal teknis penerjemahan, maupun hal-hal non-teknis yang tetap penting, baik dalam pekerjaan, maupun di luar profesi penerjemah, seperti manajemen waktu, manajemen emosi, dan disiplin diri.

Selama bergelut sebagai penerjemah, khususnya penerjemah takarir, saya pun berkenalan dengan berbagai program penerjemahan takarir, seperti Aegisub, EZTitles, dan, terakhir, yang paling sering saya gunakan, Subtitle Edit.

Awalnya, saya buta total tentang hal-hal teknis perihal penerjemahan takarir dan pembuatan takarir (captioning), tetapi, seiring waktu, saya belajar pedoman umum (rule of thumb) mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan, dan apa saja tindakan yang sebaiknya (atau harus) dihindari (dos and dont’s) dalam kegiatan membuat dan/atau menerjemahkan takarir.

Catatan penerjemahan takarir ini terdiri dari beberapa bagian yang akan terus mengalami pembaruan setiap kali saya mempelajari berbagai hal baru dalam penerjemahan takarir. Bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut:

  • Bagian 1: Pedoman Umum Penerjemahan Takarir dengan Subtitle Edit
  • Bagian 2: TBA
  • Bagian 3: TBA

Lecture Notes #1: SQ3R & 5W1H Questions (Bahasa Indonesia Merangkum)

Sumber: https://edukasi.kompas.com/read/2011/09/05/10271799/5.panduan.membaca.efektif

https://en.wikipedia.org/wiki/SQ3R

SQ3R

Survey:

Judul:Panduan Membaca Efektif

Nama Editor: Inggried

Sumber: ecu.edu.au

Question:

1. What are the important points to be taken into account if I want to be able to read effectively?

(Apa saja poin-poin penting yang harus diperhitungkan jika saya ingin bisa membaca secara efektif?)

2. Why is it important to do all the steps in the article to read effectively?

(Kenapa penting menjalankan semua langkah dalam artikel tersebut untuk membaca secara efektif?)

3. When is the right moment to apply the effective reading guidelines?

(Kapan saat yang tepat untuk menerapkan panduan belajar efektif tersebut?)

4. Where are the best places to apply the effective reading guidelines?

(Di mana saja tempat terbaik untuk menerapkan panduan membaca efektif?)

5. Who can benefit from the effective reading guidelines as stated in the article?

(Siapa yang bisa meraih manfaat dari panduan belajar efektif sebagaimana tercantum dalam artikel tersebut?)

6. How to do the steps described in the article most effectively and efficiently while reading?

(Bagaimana cara menjalankan langkah-langkah yang digambarkan dalam artikel itu secara paling efektif dan efisien selagi membaca?)

Read:

(Jawaban pertanyaan-pertanyaan dari tahap Question)

1. Teknik pindai (scanning), teknik layap (skimming), baca kalimat topik/pernyataan tesis (thesis statement), baca secara detail/perlahan, dan baca untuk tingkatkan kemampuan menulis.

2. Penting kiranya melakukan semua langkah yang dijabarkan dalam artikel tersebut agar bisa membaca secara efektif, karena semua langkah tersebut akan menjadikan kegiatan membaca lebih terstruktur dan terfokus, serta menjadikan konsentrasi lebih terpusat.

3. Waktu yang tepat menerapkan panduan membaca efektif tersebut adalah saat hendak membaca buku ajar, atau karya ilmiah, dan berbagai teks sejenis di bidang akademik dengan tingkat kesulitan bacaan menengah hingga tinggi.

4. Tempat yang paling tepat untuk menerapkan panduan membaca efektif adalah di perpustakaan atau ruang belajar yang tenang dan hening, agar konsentrasi yang dimiliki saat membaca bisa maksimal.

5. Siapa saja yang berniat membaca buku ajar dan/atau teks akademik dengan berbagai tingkat kesulitan akan sangat terbantu oleh panduan membaca efektif tersebut.

6. Cara paling efektif menerapkannya adalah dengan mempraktikkannya langsung saat membaca, dan cara paling efisien menerapkannya adalah dengan menetapkan batas waktu tertentu saat membaca suatu teks (sesuai batas kemampuan masing-masing, agar konsentrasi tetap prima dan terjaga dalam rentang waktu yang telah ditetapkan tersebut, dan menghindari penurunan konsentrasi dan daya ingat akibat keletihan.)

Recite/Recall/Retrieve:

Ingat kembali dan baca ulang serta pahami betul semua jawaban dari tahap Read di atas terhadap pertanyaan dari tahap Question.

Review:

(Ulas menggunakan gaya bahasa sendiri dari masing-masing pembaca untuk menunjukkan pemahaman akan bacaan.)

Panduan belajar efektif berdasarkan artikel itu terdiri dari: teknik pindai (scanning), yaitu mencari informasi tertentu dengan menyusuri teks bacaan; teknik layap (skimming), yaitu membaca cepat dari awal teks hingga ke bagian tertentu dari teks untuk mencari topik utama teks dan inti gagasan yang hendak disampaikan oleh  penulis teks bacaan tersebut; membaca kalimat topik agar mendapat gambaran dari suatu bab/paragraf dari teks bacaan tersebut; baca secara detail untuk menganalisis dan mengevaluasi argumen sang penulis teks tersebut; dan, terakhir, perhatikan struktur dan teknik penulisan bacaan tersebut untuk digunakan sebagai acuan bagi pembaca untuk membuat tulisan sendiri berdasarkan informasi yang telah didapat dan dipahami dari bacaan tersebut.

My English Learning Experience

(This writing is also posted in my other blog.)

“The journey of a thousand miles begins with a single step.”

Lao Tzu

I was super-bad at English productive skills (speaking and writing), to the point of receiving super-duper-bad grades on my English exams in my junior high school years.

Ever since, however, I have tried honing my English skills by doing activities as follows:

  • Reading, listening, and trying to understand the lyrics of songs in English;
  • Reading and trying to understand YouTube captions of videos (found by clicking the CC icon on the bottom of the video screen) narrated and/or spoken in English;
  • Reading, listening, and trying to understand English texts and voiced dialogues in video games;
  • Visiting online English-language (and especially news aggregator) sites (e.g., manga and web-comic forums; TV Tropes, Cracked, YCombinator’s HN, Redef, Arts and Letters Daily, etc.), reading and writing posts in English (even if, at first, I wrote a lot of posts in broken [read: bad] English, I just tried to develop a thick skin and carry on nonetheless–I’m anonymous anyway there, so, nobody would recognize me, at least initially.)

Docendo discimus (by teaching, we learn).”

~ Seneca, derived from passage in Letters to Lucillus

There are also some tried-and-tested tips I have used (and am still using) to boost my English proficiency:

  • Be confident in speaking and writing English, especially in informal settings (e.g., WhatsApp groups, casual online forums, gathering with friends and close relatives, etc.); control fear of making mistakes by thinking that we are all learning together, anyway, so, mistakes are common, and even encouraged, so that we all can learn from them;
  • Don’t think too much about proper English grammar, especially when conversing  in the aforementioned informal settings (except when writing legal, business and academic/scientific texts–which requires strict observance of certain formal grammatical dos and don’ts; and upon becoming a speaker in formal settings);
  •  Always be willing to learn about new things when you are a newbie, and always be willing to learn still about new things when you are deemed as a pro (all so-called pros were once newbies), AND share the knowledge you have learned to fellow learners, newbies and pros alike, so that you can learn as you teach;
  • Admit our own mistakes when learning English, and point out mistakes made by others in a civil manner, for we can only grow and learn through our mistakes;
  •  Read random entries and also peruse (if any) the etymological sections of authoritative monolingual English dictionaries (printed or online), such as Oxford Advanced Learner’s Dictionary (printed); Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary (printed); Merriam-Webster’s Dictionary (online); and Online Etymology Dictionary (online);
  • Write every day, it can be only several lines or many paragraphs, it can be in form of random free-writing scribbles or well-organized essays, just keep writing–which ties up quite nicely with the last three tips below;
  • Practice;
  • Practice;
  • Practice (trite but true.)

“Study hard what interests you the most in the most undisciplined, irreverent, and original manner possible.”

Richard Feynman

In conclusion, learning is a lifelong process, and this is especially true when learning English.

As long as we are willing to listen and read, with enough time and practice, we surely can speak and write better each day–at least that’s how I roll.

Find some “sparring partner(s)” who are also eagerly willing to learn and actively engage with them to practice your English skills effectively.

Last but not least, have fun!

Tell me and I forget, teach me and I may remember, involve me and I learn.

Benjamin Franklin

.

.

.

Dedication:

My deepest and most sincere gratitude to my wonderful wife Carissa (AKA Icha AKA Pippo AKA Orca), my sparring partner + muse, who provides daily challenges for me to overcome to improve my English learning experience; my mom Selma (who had gifted me Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary on my 15th birthday); my kid sister Bonita “Ndutz”, my first English pupil (when she was in kindergarten); Syam “Dabz” Wayan, for his unbounding zeal in keeping the translation startup dream alive; my seniors as well as mentors of English and translation practice at GAIN (in alphabetical order): Ms. Asti and Mr. Hendra, who have imparted their wisdom and experience in audiovisual translation and translation project management; my classmates and instructors at LBI FIB-UI Salemba legal translation course, to whom I am indebted for such lively classroom experience, especially (in alphabetical order): Ms. Astrid, Dimas “Dimsum”, Mr. Gatot, Mr. Indra Listyo, Nami, Nunik, Rizal, Tiar; and my fellow students at Indonesia Open University who are/were active in the 2018.1 Sasing (English Translation Major) WhatsApp groups (in alphabetical order): Ari “Vrix”, Arief “Reeves”, Bardi “Masbro”, Dhika “MIA”, Dijah “Dee”, Hernie, Nixon, Rierien, Renny, Rose, Silmi, Oki, Yulli, and other UT students I can’t simply name one by one (there are hundreds, and counting!).

Without those whose names are listed above, I wouldn’t have been able to learn English the way I do now. Thanks a bunch, y’all!

Trivia Terjemahan – Translation Takeaways #2

Kutipan:

“Writing means sharing. It’s part of the human condition to want to share things — thoughts, ideas, opinions.”

 

Terjemahan:

“Menulis berarti berbagi. Manusiawi jika seseorang ingin berbagi berbagai hal — pikiran, ide, opini.”

~ Paulo Coelho ~

.

.

.

Saya baru melakukan pembaruan (update) setelah hampir setahun vakum menulis di blog ini, semoga seterusnya saya bisa berbagi pengalaman seputar bahasa dan penerjemahan secara rutin.

1.

– “Someone is standing at the door.”

– “Let me get it.”

Komentar:

Saya sempat keliru menerjemahkan dialog di atas (penerjemahan secara harfiah):

– “Ada yang berdiri di pintu.”

– “Biar kuambil.”

Koreksi:

Saat menyunting terjemahan tersebut, saya merasa hasil terjemahannya janggal, jadi, saya perbaiki seperti ini:

– “Ada yang bertamu.”

– “Biar kubukakan.”

Alternatif: “Ada seseorang di balik/depan pintu (rumah).”

Konteks:

Latarnya adalah di rumah suatu keluarga. Saat percakapan berlangsung, ada seseorang yang mengetuk pintu depan rumah keluarga tersebut, dan salah seorang anggota keluarga menyahut, lalu ditimpali seorang anggota keluarga lain, sesuai dengan dialog di atas.

2. “Things have gotten worse between us.”

Komentar:

Saya awalnya sempat keliru menerjemahkan kalimat tersebut menjadi “Segalanya telah memburuk antara kami.”

Koreksi:

Terjemahan yang lebih alami: “Hubungan kami (telah) memburuk.”

Konteks:

Tokoh A dalam dialog tersebut sedang berbincang dengan tokoh B, dalam kesempatan itu, si A membahas tentang hubungannya yang memburuk dengan si C kepada si B.

Jika dalam dialog tersebut si A berbincang *hanya* dengan si B (dengan kalimat yang persis sama dalam bahasa Inggris), dan membahas tentang memburuknya hubungan mereka berdua (si A dan si B), terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia adalah:

“Hubungan kita (berdua) memburuk.”

3. “So many guns to choose from.”

Komentar:

Terjemahan harfiah: “Begitu banyak pistol yang bisa dipilih darinya.”

Koreksi:

“Senjatanya banyak (sekali).”

Konteks:

Tokoh dalam sebuah cerita mengucapkan dialog itu kepada tokoh lain di sebelahnya saat melihat persediaan amunisi yang bisa dipakai melawan tokoh antagonis cerita itu.

Trivia Terjemahan – Translation Takeaways #1

Sudah cukup lama saya tidak memperbarui (update) entri blog ini, mungkin lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali–ini pun berguna sebagai penghalau lupa saya.

Berikut ini beberapa wawasan seputar bahasa dan terjemahan yang ingin saya bagikan dalam kiriman (post) blog saya kali ini.

Semua padanan dalam Bahasa Indonesia bersumber dari KBBI Daring–kecuali saya nyatakan dari sumber(-sumber) yang lain.

(Jujur, saya belum merasa sepenuhnya nyaman dengan pilihan padanan baku KBBI (misalnya nahas, bukan naas), karena menurut saya banyak padanan yang selama ini menurut saya sudah lebih berterima luas ketimbang yang padanannya masuk dalam lema/entri resmi KBBI Daring.)

Silakan ralat dan/atau beri saran serta masukan jika berkenan.

 

  • Prowl: merayau (berkeliaran senyap mencari mangsa) [The black cat prowls in the dead of night. Kucing hitam itu merayau di gelap malam.]
  • Survival: kesintasan (perihal sintas/bertahan hidup) [A mountain climber must master basic survival skills before going hiking. Seorang pendaki gunung harus menguasai berbagai keahlian kesintasan dasar sebelum pergi haiking.]
  • Roaring heat of summer: terik membara musim panas
  • Under the cloak of darkness: dalam gelap gulita
  • Speak for yourself: menurutku tidak demikian/aku kurang/tidak setuju
  • Baku: prangko. Tidak baku: perangko
  • Baku: nahas. Tidak baku: naas
  • Baku: napas. Tidak baku: nafas
  • Baku: hafal. Tidak baku: hapal

Ideas from Beck’s World at Risk and Besson’s Morality of Conflict (Indonesian Translated Version)

(Terima kasih kepada Hadi Herlambang, S.H. [S2 Hukum UI] yang telah berbagi pikiran, pendapat, dan informasi umum tentang buku World at Risk karya Ulrich Beck, dan Morality of Conflict karya Samantha Besson.) 

[Disclaimer: Saya menerjemahkan kedua teks tersebut dari bahasa Inggris semata berdasarkan pemahaman saya sebagai seorang awam (non-praktisi) di bidang hukum dan/atau ilmu sosial dan politik, serta dalam kapasitas saya sebagai seorang penerjemah. Jika ada kritik, saran dan masukan tentang terjemahan saya, sila berbagi di kolom komentar.) 

 

Debat akademik tentang perubahan iklim sudah usai, tapi respons moral dan politiknya telah mencapai tataran baru. . . .Manusia, sebagaimana telah ditetapkan dengan kebulatan suara para peneliti yang jarang ditemui terkait isu yang melibatkan beragam aspek seperti itu, menjadi pelaku utama penyebab pemanasan global. . . .Suatuhal yang sungguh baru, bahkan mungkin pesan yang bersejarah dari laporan ini, adalah kepastian meyakinkan penghapus segala penyangkalan dan keraguan bahwa manusialah penyebab terjadinya perubahan iklim.

Müller-Jung 2007 (merujuk pada IPCC 2007)

 

(hal. 1)

 

1 Risiko

 

Ancaman dan ketidakstabilan selalu menjadi bagian dari segala kondisi keberadaan umat manusia; dalam hal tertentu, situasi ini lebih tepatnya terjadi di masa lalu ketimbang masa kini. Ancaman bagi orang-orang dan keluarganya lewat penyakit dan kematian dini, segala ancaman bagi masyarakat lewat segala kasus kelaparan dan wabah penyakit lebih sering terjadi di Abad Pertengahan ketimbang dewasa ini. Dari ancaman semacam ini, kita harus membedakan makna risiko yang terkait sejak awal periode modern, dengan semakin pentingnya keputusan, ketidakpastian, dan kemungkinan dalam proses modernisasi. Makna risiko merujuk pada penentuan tema yang dilakukan saat ini atas segala ancaman di masa depan yang seringkali merupakan hasil dari berbagai kesuksesan peradaban. Itu juga memungkinkan terjadinya berbagai mobilisasi masyarakat baru, pasca-utopia, misalnya, seperti telah kita lihat, berbagai inisiatif kosmopolitan terhadap perubahan iklim dan pergeseran persekutuan antara berbagai pergerakan sipil (misalnya LSM—penerj.), negara, dan perusahaan.

Dua sisi risiko – peluang dan bahaya – menjadi penting seiring berjalannya industrialisasi, dimulai dengan pengiriman kapal dagang antar benua (misalnya oleh VOC pada abad ke-16—penerj.). Risiko melambangkan skema perseptual (anggapan—penerj.) dan kognitif (pikiran—penerj.), yang bersesuaian dengannya suatu masyarakat memobilisasi dirinya saat dihadapkan dengan segala jenis keterbukaan, ketidakpastian, dan halangan dari suatu masa depan yang diciptakan sendiri, dan tidak lagi didefinisikan oleh agama, tradisi, atau kekuatan alam yang lebih besar, tapi bahkan masyarakat itu telah kehilangan keyakinannya atas segala kekuatan utopia (negeri ideal dalam angan—penerj.) sebagai penyelamat.

 

(hal. 4; kategori dan/atau definisi risiko)

 

Istilah patembayan risiko (patembayan (Gesellschaft) menurut hemat penerjemah lebih tepat sebagai padanan dari istilah asli society dalam bahasa Jerman, yaitu Risikogesellschaft,ketimbang masyarakat, karena padanan masyarakat cenderung bersifat terlalu umum, sedangkan, dalam konteks ini, yang dibahas secara khusus adalah suatu kelompok sosial tertentu —penerj.) yang saya ciptakan dan saya jadikan judul buku saya pada tahun 1986 melambangkan suatu era masyarakat modern yang tidak lagi hanya membuang berbagai cara hidup tradisional, tapi lebih tepatnya bergumul dengan segala efek samping dari modernisasi yang sukses – dengan biografi (orang-orang—penerj.) berbahaya dan ancaman-ancaman tak terperi yang memengaruhi semua orang, dan membuat semua orang sulit mendapatkan jaminan kepastian yang cukup. Dari hal ini saya menarik beberapa kesimpulan:

  • Risiko memiliki ‘kekuatan perang yang merusak’. Bahasa ancaman itu menular dan mengubah ketimpangan sosial: kebutuhan sosial bersifat hierarkis (tersusun dari berbagai tingkatan—penerj.), sebaliknya ancaman baru itu bersifat demokratis. Ancaman itu bahkan memengaruhi kalangan kaya dan berkuasa. Guncangannya terasa di seluruh wilayah masyarakat. Bursa-bursa ambruk, sistem-sistem hukum gagal mengajukan tuntutan pidana, berbagai pemerintahan menjadi sasaran tuduhan, sekaligus mendapat peluang baru untuk bertindak.
  • Kita menjadi anggota ‘komunitas ancaman global’. Segala ancamannya bukan lagi urusan dalam negeri negara-negara tertentu, dan suatu negara tidak bisa menghadapi ancaman-ancaman itu sendiri. Timbul dinamika konflik baru atas berbagai ketimpangan sosial.
  • Progres ilmiah kini terdiri atas tindakan melengserkan peran para pakar. Prinsip dasar sains dan segala teknologi visualisasinya – ‘Saya tidak melihat adanya risiko apa pun, jadi, tidak ada risiko’ – sedang mengalami tantangan. [Penerapan] sains tidak langsung bisa diartikan berkurangnya risiko, tapi, itu menajamkan persepsi akan risiko, dan berbagai risiko itu sendiri ‘secara kolektif bisa dilihat untuk pertama kalinya.
  • Ketakutan menentukan sikap [seseorang] terhadap kehidupan. Keamanan menggeser posisi kebebasan dan kesetaraan dari tempatnya yang tertinggi pada neraca nilai. Akibatnya, hukum [dan perundang-undangan] menjadi lebih ketat, suatu [kondisi] ‘pertahanan totaliter terhadap segala ancaman’ yang tampak bersifat rasional.
  • ‘Bisnis ketakutan’ akan meraup laba dari hilangnya keberanian [pada masyarakat] secara umum. Warga yang curiga dan diduga berbahaya harus bersyukur saat dirinya dipindai, difoto, digeledah, dan diinterogasi ‘demi keselamatannya sendiri’. Keamanan menjadi komoditas konsumen sektor publik dan swasta seperti air dan listrik yang menguntungkan.

3 Patembayan risiko dunia (Weltrisikogesellschaft / World risk society)

Untuk menyampaikan segala hal yang asing dan baru tentang kategori patembayan risiko dunia yang berbeda dengan patembayan risiko, dalam buku ini saya akan memperkenalkan dan mengembangkan seluruh rangkaian inovasi dan pembedaan konseptual – sebagai contoh, pembedaan antara risiko dan bencana, atau [pembedaan] antara risiko dan segala jenis penilaian risiko yang beragam secara kultural, hal itu semakin penting di era globalisasi. Saya sekaligus akan menawarkan tipologi berbagai ‘logika’ risiko global berbeda yang memungkinkan pembuatan definisi fenomena baru terkait terorisme bunuh diri lintas negara (sebagaimana dibandingkan dengan terorisme nasional perjuangan meraih kemerdekaan atau untuk keterlibatan politik, seperti yang dilakukan warga Irlandia atau Palestina) dan perbandingan [terorisme bunuh diri lintas negara] itu dengan berbagai risiko global lingkungan dan ekonomi. Dalam buku ini saya akan menyinggung, dengan cara antisipasi, beberapa inovasi konseptual ini, dan jenis-jenis wawasan yang dibukakan oleh [beberapa inovasi konseptual itu.]

 

(hal. 8 – 9; patembayan risiko dan patembayan risiko dunia)

 

Risiko dan bencana (catastrophe)

Risiko tidak bermakna sama dengan bencana. Risiko berarti antisipasi bencana. Risiko terkait dengan kemungkinan berbagai kejadian dan perkembangan di masa depan; risiko menghadirkan suatu kondisi dunia yang tidak ([atau] belum) terjadi. Bilamana setiap bencana sudah ditentukan secara spasial (ruang), temporal (waktu), dan sosial, antisipasi bencana sama sekali tidak bersifat konkret dari segi ruang-waktu ataupun sosial. Dengan demikian, kategori risiko menandakan kenyataan kontroversial dalam ranah kemungkinan, yang harus dibatasi dari sekadar kemungkinan spekulatif, di satu sisi, dan dari kejadian bencana yang nyata, di sisi lain. Begitu segala risiko itu menjadi nyata, saat ada PLTN meledak atau saat terjadi serongan teroris,  semua risiko itu [berubah] menjadi bencana. Risiko selalu berupa segala kejadian di masa depan yang mungkin terjadi, yang mengancam kita. Namun, karena bahaya yang terus ada ini membentuk harapan kita, bersemayam di pikiran kita, dan memandu segala tindakan kita, [risiko] menjadi suatu kekuatan politik yang mengubah dunia.

Salah satu pertanyaan kunci yang diajukan dan ingin dijawab dalam buku ini memperjelas perbedaan antara risiko yang diantisipasi dan bencana yang sungguh terjadi ini. Bagaimana cara ‘menciptakan’ keberadaan berbagai bencana masa depan? Dengan cara apa risiko bisa memperoleh predikat ‘nyata’ – dengan kata lain, bagaimana suatu risiko itu bisa bertahta sebagai antisipasi ‘yang diyakini’ dalam benak masyarakat, dan pada berbagai institusi, serta jelas seringkali melintasi batas antar bangsa, daerah, agama, partai politik, dan kalangan kaya serta miskin? Lalu mengapa antisipasi bencana, dari segala kemungkinan yang ada, mendorong perombakan politis?

Jawabannya, disederhanakan ke dalam suatu rumusan, adalah: risiko global merupakan peragaan realitas [Realitätinszenierung] dari risiko global. Itu salah satu perspektif penting dari buku World at Risk yang melampaui tesis-tesis di dalam buku Risk Society. ‘Staging’ (peragaan) dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam makna bahasa percakapan sehari-hari, yaitu pemalsuan realitas disengaja dengan membesar-besarkan berbagai risiko yang tidak nyata. Pembedaan antara risiko sebagai bencana yang diantisipasi dengan bencana sesungguhnya sebaliknya memaksa kita untuk menganggap serius peran peragaan itu.  Karena bencana masa depan hanya bisa dihadirkan dengan membayangkan dan memeragakan risiko dunia – seringkali bertujuan menghindarinya dengan memengaruhi keputusan-keputusan saat ini. Kemudian, diagnosis risiko akan menjadi ‘ramalan yang terpatahkan dengan sendirinya’ – contoh utamanya adalah debat tentang perubahan iklim yang seharusnya mampu mencegah perubahan iklim.

 

(hal. 9-10; perbedaan antara risiko dan bencana & peragaan realitas risiko global)

 

Tujuan saya dalam buku ini bukanlah untuk memberikan tipologi lengkap dari seluruh risiko yang mungkin ada dalam masyarakat risiko dunia.

Berbagai risiko lama (kecelakaan industri dan perang) dan bencana alam (gempa bumi, tsunami) terjadi seiring, dan menjadi terhubung dengan berbagai risiko baru (perubahan iklim pembawa malapetaka, krisis keuangan global, dan serangan bunuh diri), lalu dengan demikian bisa memicu berbagai ketidakstabilan yang baru, sulit direka, dan tidak terduga.

Segala bencana besar yang mungkin terjadi sangat mudah dibayangkan – dan saya tidak berambisi menjadi Hieronymus Bosch (pelukis Belanda abad ke-16 yang terkenal akan karya-karyanya yang menggambarkan kengerian di neraka dan hari kiamat menurut agama Kristen–penerj.) di bidang sosiologi.

Tujuan saya adalah untuk mengembangkan teori dan sosiologi risiko yang sudah ada setidaknya tiga langkah lebih jauh: pertama, melalui perspektif globalisasi, kedua, dan berhubungan dengan ini, melalui perspektif staging (pemaparan rinci berbasis kategori–penerj.), dan ketiga, melalui perspektif perbandingan tiga logika risiko, yaitu, risiko lingkungan, risiko ekonomi, dan risiko global terorisme.

 

(hal. 19 – 20; thesis statement (topik utama) World at Risk)


 

Dalam kesimpulan [Morality of Conflict], Besson membahas potensi teori hubungan internasionalnya – [Samantha Besson] berkomitmen menyelidikinya lebihjauh dalam karya-karyanya yang akan datang – sebagai persoalan pluralisme hukum melampaui tingkatan negara (Besson 2005: 534). Teorinya menawarkan landasan atas apa yang disebutnya kedaulatan kooperatif (Besson 2005: 535), yang melibatkan suatu pemahaman akan koordinasi berarti berbagai tingkat kewenangan (governance), mulai dari tingkat lokal hingga global. Dia memaparkan secara rinci prinsip-prinsip kedaulatan kooperatif dan koherensi global:

 

Pertama, konsepsi yang telah direvisi tentang kedaulatan kooperatif bisa lahir dari suatu pendekatan yang lebih jelas terhadap pluralisme hukum global. …. Kedaulatan harus dibayangkan sebagai suatu konsep refleksif (subjektif—penerj.) dengan penggunaan yang tepat, yaitu untuk merenungkan dan berbeda pendapat tentang nilai-nilai yang dilindungi oleh kedaulatan itu, yaitu, terutama, demokrasi dan hak-hakasasi manusia. Perlindungan nilai-nilai yang mendasari konsep-konsep yang dapat diperdebatkan itu dengan demikian akan menjadi lebih baik jika ada kerjasama antar para pihak berwenang dan entitas yang berbeda, dan dengan cara terbaik melindungi kesamaan berbagai nilai yang mereka anut, dan, oleh karena itu kapan [suatu pihak] harus menyerahkan kedaulatannya ke pihak lainnya, ketimbang jika pihak-pihak itu saling menyatakan bahwa kedaulatannyalah yang lebih utama dibandingkan kedaulatan pihak lainnya. Segera setelah [kedaulatan kooperatif] diawali dan diakhiri, kedaulatan kooperatif itu bisa menciptakan sekaligus merangsang perdebatan yang langsung membahas inti tentang apa yang seharusnya menjadi pembagian jatah yang terbaik atas kekuasaan, dan ini bukan hanya di Eropa, tapi juga pada skala yang lebih mendunia. …

 

Kedua, kedaulatan kooperatif bisa melahirkan prinsip koherensi global dalam kondisi-kondisi pluralisme pasca nasional dan supra-nasional yang wajar. Saat para pihak dalam suatu konflik yang berada dalam posisi berdaulat dipahamis ebagai [para pihak] yang berada dalam suatu hubungan kooperatif, ketimbang saling bermusuhan, akan mudah dimengerti alasan mengapa prinsip menghormati segala posisi pihak lain yang wajar, sekalipun berbeda, harus dikembangkan pada model prinsip koherensi hukum pada tataran infra-negara. …. Seharusnya tidak ada sumber legalitas yang saling berkonflik yang menjadi lebih rendah kedudukannya dibandingkan [sumber legalitas] lainnya, dan pihak berwenang lokal seharusnya bisa berjalan seiring danberkembang bersama pihak berwenang global, selama konflik bisa menjadi suatu sumber pembelajaran bersama dan suatu konsistensi berprinsip dalam usaha kerjasama mencari titik temu bagi berbagai ordehukum yang berbeda ini, dengan aturan hukum yang bertujuan untuk mengamankan nilai-nilai dan kepastian itu bagi mereka (para pihak yang menjadi sumber legalitas tersebut—penerj.) (Besson 2005: 535/536).

 

Sumber:

 

Cottier, Thomas. Multilayered Governance, Shared Values and Moral Conflict. 2008. (hal. 6-7)